Langsung ke konten utama

KAPRAH


“KAPRAH”

Seorang pemuda, sebut saja namanya Supri. Sedang asyik duduk santai di poskamling, sambil menghisap rokok hasil ngecer dari warung depan perkampunganya sore tadi. Maklum namanya kampung, warung ataupun toko memang biasanya ada di pinggir jalan depan perkamupungan. Sembari menunggu kawan – kawan rondanya Supri terus melanjutkan kenikmatan menghisap batang rokoknya, “Fushh..”. “Iki menungso – menungso elek kok podo nyandi kok ora njedul – njedul, wis arep jam’e rundho lho iki” gumam Supri.

Belum lama setelah Supri bergumam datanglah Sudrun menuju pos kamling. “Drun, arep nyandi?” tanya Sudrun”. “Nyang ngarepan” jawab Sudrun singkat dan berlalu begitu saja meninggalkan Supri di pos kamling. “Ndlegekk.. di takoni kok semaure gag enek benere blass” gerutu Supri.

Tak lama berselang datang kembali Sudrun di pos kamling dan langsung duduk di sebelah Supri sambil menengok kanan dan kiri dan menyulut rokok yang sudah ada d mulutnya. “Seko ngendi koe mau Drun” tanya Supri. “Seko ngarepan” jawab Sudrun singkat. “Basiooo.. ditakoni apik – apik malah jawabe ngono” timpal Supri. “Lhaaa iyo seko ngarepan Kang Supriiiiii” balas Sudrun dengan nada yang panjang. “Whoo lhaa bedhes elekk.. ditakoni seko ngendi kok malah ndawakne mbaleni njawab ngunu wae” sahut Supri mulai jengkel. “Piye to Kang, aku iki mau seko ngarepan gag ngapusi.. tenan aku..” jawab Sudrun dengan wajah polosnya.

Karena mulai jengkel Supri menjelaskan kembali kepada Sudrun, “Ngene lho Drun.. maksudku iki takon kowe mau seko ngendi geg ngopo?, bener.. aku ngerti kowe seko ngarepan”. “Lhaaa maksudmu kuwi to Kang, ngomongo sing jelas.. lha wong pertanyaanmu wae gur arep nyandi ngunu kok...” jawab Sudrun. “Whoo laadalahh.. tapuk lambemu nganggo swallow sisan kowe mengko”, sambar Supri sambil melepas sandal jepit berwarna hijau putih dari kaki kanannya.
“aku mau kae ki seko warung ngarepan ngecer rokok Kang..” belum selesai Sudrun bicara, “Lhaaaaaaa.... ngunu kan jelas.. cethoo.. benerrr..” lagi – lagi Supri menyambar omongan Sudrun. Berhentilah perdebatan tanya jawab absurd antara Sudrun dan Supri. Berdirilah Supri dari duduknya berjalan sedikit kedepan dari Pos Kamling. Sambil menengok kanan, kiri, belakang dan berharap dua rekan rondany yang lain segera datang.

“Ono sruweng-sruweng opo ning warung kono” tanya Supri membuka obrolan. “Enek Kang.. jarene Yu Sarmi, Mbah Jiman nggeblak Kang”, jawab Sudrun. “Kosik – Kosik.. Mbah Jiman sopo??” tanya Supri penasaran dan duduk lagi disebelah Sudrun. “Mbah Jiman kampung sebelah kuwi lho Kang” jawab Sudrun. “Mbah Jiman sing ning Kampung Sukma Akang!?” tanya Supri kali ini dengan nada tinggi dan kaget. “Iyooo Kang Supri” balas Sudrun dengan polosnya.
Dengan mata terbelalalak dan kaget setengah mati Sudrun langsung berujar “Astagfirullah Sudrunn.. Kuwi morotuwaku blokkk goblokkk..! Lha ngopo kowe ora ngomong kawit mau to bedhess elekkkk”. Sontak setelah itu Supri langsung lari pergi dari Pos Kamling dan menuju kampung sebelah. Sudrun hanya diam terpaku dan kembali menyulu batang rokoknya yang sebelumnya diselipkan ditelinga kanannya.

Tak lama berselang datanglah Kriwul dan Riwut di Pos Kamling. “Lho.. Kowe dewean Drun?” tanya Kriwul. “Iyo Wul” jawab Sudrun singkat. “Kang Supri nyandi Drun?” gantian Riwut yang bertanya. “Bubar aku crito, Kang Supri langsung mlayu ngunu wae” jawab Sudrun. “Critakno awit kowe seko ngomah ngasi tekan kene?” tanya Riwut pada Sudrun.

Sejenak Sudrun bercerita panjang lebar sampai akhir cerita. “Mlayu arah nyandi?” tanya kembali Riwut pada Sudrun yang sepertinya sangat paham jika Sudrun ini orang yang terlalu polos. “Wonge mlayu nyang arah Kampung Sukma Akang Wut” balas Sudrun.
Kriwul dan Riwut saling bertatapan satu sama lain. “Oalahh uwis – uwis aku paham” kata Riwut. “Kriwul! pas aku ngampiri kowe mau bojomu crito karo aku. Jare sedulure Yu Jakiyem sing lagi wae teko seko Jakarta wingi sore kae, bar isya’ mau nggeblak alias meninggal” cerita Riwut pada Kriwul. “Yu Jakiyem ngendi Wut” tanya Kriwul pada Riwut.  “Halah.. Yu Jakiyem kae lhoo.. omahe lor barongan dalan arep melbu nyang kampung sebelah” Riwut menjelaskan. “Kapan bojoku cerito?” tanya Kriwul bingung karena sebelumnya tak mendengar cerita itu saat dirumah. “Pas kowe mau lagi adus, makane kowe ora ngerti” terang Riwut.

Sejenak Kriwul terdiam, “Oalah Yu Jakiyem bakul kambil kae thoo?” tanya Kriwul berbalik pada riwut. “Lhaa,, yo kuwi maksudku” jawab Riwut. “Nahh, Sedulure Yu Jakiyem kae mau jenenge Mbah Jiman” sambung Riwut. “Hoppp Setoppp!! wis nyandak aku iki Wut” sahut Kriwul seketika. “Mhmmm.. dadine Kang Supri mau krungu crito seko Sudrun, dikiro sing mati kui mesti morotuwane, padahal sedulure Yu Jakiyem sing seko Jakarta” sambung Kriwul. “Lha kampung sebelah kan saiki wis ora enek rundho kyok kampunge awake dewe, makane ora enek suworo kenthongan doro muluk” balas Riwut.

Sontak saja Kriwul dan Riwut tertawa terbahak – bahak. Karena kesalapahaman kabar yang dibawa Sudrun. Hanya Sudrun saja yang bingung melihat dua sahabatnya ini tertawa terbahak -  bahak.

Tiga puluh menit berselang setelah tertawa pos kamling kembali hening. Sudrun yang mulai menguap bersandar pada tiang pos kamling. Kriwul sudah bergumul dengan kenthongan bambu yang sudah setengah basah karena air liurnya. Dari kejahuan tampak seorang pria berkalung sarung dan memegang sebuah sandal jepit di tangan kananya, dia tak lain adalah Supri. “Wedhuss Gembel.. Sudrunnnn..” teriak Supri dari jarak 50 meter. Sontak merasa namanya dipanggil seketika Sudrun berdiri dan melihat dari mana arah datangnya suara. Riwut yang sudah bisa menebak bagaimana kejadian selanjutnya mulai kembali tertawa. “Ra cetho babar blasss..!, nek omongan ki sing genah” teriak Supri yang semakin mendekat ke pos kamling. “Whussss” suara sebuah sendal melayang nyaris mengenai Sudrun yang sudah tahu jika pelempar sendal tersebut adalah Supri. Merasa terancam, Sudrun seketika kabur dari Pos kamling meninggalkan Riwut yang tertawa terbahak –bahak.
.......
Pergunakanlah Suatu Kebenaran dengan cara yang pas dan waktu yang tepat.
Ini hanyalah tulisan yang terinspirasi dari kata – kata salah satu penceramah kondang dari Jawa Timur. Hanya saja saya gubah ulang menjadi sebuah naskah cerpen agar lebih menarik tanpa menghilangkan substansi perkataanya yaitu tentang “Bener, nanging drung mesti bener”
ryusalsalamrudi
sukoharjo, 31 Januari 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBAHAGIAAN DAN UANG

KEBAHAGIAAN DAN UANG Kita sering mendengar kalimat “kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang”. Terkadang aku sering merenung ketika mendengar kata – kata ini. Banyak sekali kebenaran dan tentang kalimat ini melalui pengakuan dari beberapa sahabat. Tapi entah sejak kapan aku berfikir “hal itu memang benar, tapi tidak sepenuhnya benar” . Otak selalu mengirimkan sinyal kemulut hingga berucap “Uang memang takkan mampu membeli kebahagiaan, namun uang mampu mendekatkan kepada kebahagiaan” . Ironinya adalah, ketika ada sahabat yang mendengar kalimat itu, ada yang menjawab “Ahh, itu kamu saja yang jauh dari Tuhan” . Pelik, otak menangkap sinyal itu dan mengatakan “Itu benar dan itu memang benar” . Kembali aku merenungkan kalimat yang pernah pernah terucap dari mulutku tentang “Uang memang takkan mampu membeli kebahagiaan, namun uang mampu mendekatkan kepada kebahagiaan”. Bagaimana tidak? Salah satu contoh adalah berkumpul dengan keluarga mungkin merupakan kebahagiaan yang hampir sem...